Meneladani Kepemimpinan Rasulullah
Banyak orang yang mengingat Maulid Nabi bukan pada hakikat
mengingat kenabian Nabi Muhammad, tapi hanya sekadar mengingat kelahiran
Muhammad yang waktu itu belum diangkat menjadi Nabi. Seharusnya, kalau
memperingati Maulid Nabi, akan lebih tepatnya mengingat 22 tahun
perjuangan Rasulullah membangun Islam. Jadi, mengingat Maulid Nabi itu
bukan hanya ketika tanggal 12 Rabiul Awal saja, melainkan setiap hari.
Kurang lebih seperti itulah awal percakapan Salman Media ketika
mewawancarai K.H. Saiful Islam Mubarak mengenai hakikat Maulid Nabi
Muhammad 1434 H kemarin (25/1). Ditemui selepas mengisi siaran malam di
MQ TV pukul 20.40. Tidak terlihat aura letih dari beliau yang sudah
beraktivitas seharian tadi.
Beliau melanjutkan, selain mengingat kenabian Muhammad, kita juga
perlu merenungi kemimpinan Rasulullah. Kepemimpinan yang ada pada Nabi
Muhammad merupakan gerakan kalbu melihat kondisi masyarakat ketika
zamannya. Muhammad Saw membaca kehidupan umatnya, sehingga sering
melupakan keluarganya. “Tapi keluarganya sudah siap dengan hal tersebut,
karena Rasulullah telah membina keluarganya terlebih dulu sebelum
terjun memikirkan umat,” papar kyai yang biasanya dipanggil Ustaz Saiful
ini.
Rasul saat ingin menghayati keadaan umatnya, sampai melakukan
pengorbanan diri. Mulai dari berpergian jauh dari Mekkah, naik ke Gunung
Jabal Nur, masuk ke dalam Gua Hira, lalu merenung di sana hingga saat
wahyu Allah turun kepadanya. Tentunya hal ini bukanlah hal yang mudah
untuk dilakukan.
Turunnya wahyu pertama kepada Rasul, ‘iqro, bismirabbikallazi
khalaq’, merupakan wujud bimbingan Allah kepadanya. Ayat ini
mengarahkan beliau membaca ciptaan-Nya dengan benar. “Jelas niat, jelas
tujuannya. Tidak terpengaruh dengan apa yang ada di perjalanan,” timpal
beliau menjelaskan bagaimana sosok pemimpin yang meneladani Rasul.
Mengingat Pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat (Pilkada Jabar) yang
akan berlangsung bulan depan, Salman Media merasa tergelitik untuk
bertanya bagaimana pendapat ustaz yang dahulu sempat menjadi anggota
DPRD Jawa barat ini. Beliau menjawab, sebelum memutuskan pilihan kepada
salah satu calon, lakukanlah istikharah. Biar masyarakat serahkan kepada
apa yang terbaik menurut Allah. Allah lebih tahu siapa yang lebih bagus
untuk masa depan umat. Rasulullah Saw juga bersabda, “Tidak akan
rugi orang yang mengerjakan istikharah dan tidak akan menyesal orang
yang istisyarah (bermusyawarah).”
Tentulah yang harus dipilih sebelumnya adalah pemimpin atau imam yang
adil. Adil di sini berarti adil kepada Allah, masyarakat, dan dirinya
sendiri. Selain itu, harus juga adil antara masalah dunia dan masalah
akhirat. Banyak orang yang menilai adil itu sepihak, hanya dalam ranah
materi saja. Padahal adil secara materi tanpa memperhatikan perbuatan
rohani tidak dapat dikatakan sebagai adil.
Bahkan, Allah menjelaskan seperti apa sosok pemimpin yang akan
membawa perubahan di dalam surat Ar-Ra’du ayat 11, “Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”. Kata ‘anfus’
dalam ayat itu mengacu pada sesuatu yang ada di dalam diri manusia yang
cenderung tak terlihat dan tak dapat terukur seperti akidah dan
akhlaknya. Jadi, pemimpin yang dibutuhkan ialah pemimpin yang baik dalam
lahir dan batinnya yang akan membawa perubahan dari sana.
Rasul juga menegaskan tentang rasa tanggung jawab seseorang sebagai
pemimpin. Apabila setiap muslim merasa tanggung jawab, berarti ia akan
siap menegur dan juga siap ditegur. Intinya, adanya ‘watawa saubil
haq, watawa saubil sabr’ atau saling
menasehati dan mengingatkan dalam jiwa pemimpin itu. “Rasul yang maksum
saja masih meminta pendapat pada sahabat,” tutup K.H. Saiful Islam
Mubarok mengakhiri percakapan dengan Salman Media. [GR]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar