Selasa, 04 Juni 2013

Beberapa Hadis tentang Kepemimpinan dalam Kitab Riyadhus Shalihin


Beberapa Hadis tentang Kepemimpinan dalam Kitab Riyadhus Shalihin
A. Pendahuluan
Dalam sejarah kehidupan manusia, telah muncul konsepsi tentang kepemimpinan. Bagaimana Nabi Adam memimpin Hawa dan keturunannya di dunia setelah diusir dari surga. Begitu juga sejak awal kemunculan Islam, Nabi Muhammad selain sebagai seorang utusan Rasul yang menyampaikan ajaran-ajaran agama tetapi juga seorang kepala Negara dan kepala rumah tangga. Paling tidak dalam catatan-catatan sejarah kenabian yang terdokumentasikan dalam Hadits-Hadits yang tetap terjaga dan masih bisa dikonsumsi sampai saat ini, Nabi memberikan contoh bagaimana seorang pemimpin menyelesaikan persoalan-persoalan pribadi maupun sosial kemasyarakatan berdasarkan musyawarah untuk tercapainya kemaslahatan.
Masa peletakan Fondasi Islam yang di bawa Nabi Muhammad Saw. telah lama usai. Setiap ummat Islam dituntut untuk mampu mengaplikasikan ajaran-ajaran tersebut kedalam seluruh aspek kehidupan, tentunya dengan kontekstualisasi yang sejalan dengan perubahan zaman namun tetap berdasarkan tuntunan yang ada.
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl : 90)
Berdasarkan ayat diatas paling tidak, dapat diraba bahwa konsepsi kepemimpinan diakui oleh Islam yang dimanifestasikan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Untuk lebih mendalami hal tersebut dalam makalah ini akan sedikit dibahas beberapa hadits yang tertuang dalam Kitab Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi.
B. Pembahasan
Islam menetapkan tujuan dan tugas utama pemimpin adalah untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta melaksanakan perintah-perintah-Nya. Ibnu Taimyah mengungkapkan bahwa kewajiban seorang pemimpin yang telah ditunjuk dipandang dari segi agama dan dari segi ibadah adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pendekatan diri kepada Allah adalah dengan menaati peraturan-peraturan-Nya dan Rasul-Nya. Namun hal itu lebih sering disalah gunakan oleh orang-orang yang ingin mencapai kedudukan dan harta.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya :
Dari Ibn Umar r.a. Sesungguhnya Rasulullah Saw. Berkata :”Kalian adalah pemimpin, yang akan dimintai pertanggungjawaban. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin dirumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin dalam mengelolaharta tuannya, dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Oleh karena itu kalian sebagai pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Hal yang paling mendasar yang dapat diambil dari hadis diatas adalah bahwa dalam level apapun, manusia adalah pemimpin termasuk bagi dirinya sendiri. Setiap perbuatan dan tindakan  memiliki resiko yang harus dipertanggungjawabkan.
Setiap orang adalah pemimpin meskipun pada saat yang sama setiap orang membutuhkan pemimpin ketika ia harus berhadapan untuk menciptakan solusi hidup di mana kemampuan, keahlian, dan kekuatannya dibatasi oleh sekat yang ia ciptakan sendiri dalam posisinya sebagai bagian dari komunitas.
1) Penguasa yang adil
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Artinya :
Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi Saw., beliau bersabda : “Ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu : Pemimpin yang adil, Pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah Ta’ala, Seseorang yang hatinya senantiasa digantungkan (dipertautkan)” dengan masjid, Dua orang saling mencintai karena Allah, yang keduanya berkumpul dan berpisah karena-Nya. Seorang laki-laki yang ketika diajak [dirayu] oleh seorang wanita bangsawan yang cantik lalu ia menjawab :”Sesungguhnya saya takut kepada Allah.”Seorang yang mengeluarkan sedekah sedang ia merahasiakanny, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di tempat yang sepi sampai meneteskan air mata.”
Setiap orang berhak mengeluarkan pendapatnya dan seorang pemimpin berkewajiban mendengarkan. Ia wajib menjalankan hasil musyawarah. Setiap keputusan yang telah disepakati bersama wajib dilaksanakan karena itu merupakan amanat yang dibebankan kepadanya. Dalam hadits diatas diungkapkan keutamaan seorang pemimpin yang adil sehingga mendapatkan posisi pertama orang yang mendapatkan naungan dari Allah pada hari kiamat. Hal ini menunjukkan begitu beratnya menjadi seorang pemimpin untuk selalu adil dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan.
2) Wajib menaati perintah penguasa
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Artinya :
Dari Ibn Umar ra., dari Nabi Saw., sesungguhnya bliau bersabda : “Seorang Muslim wajib mendengar dan taat terhadap perintah yang disukai maupun tidak disukainya. Kecuali bila diperintahkan mengerjakan kemaksiatan, maka ia tidak wajib mendengar dan taat”
Secara kontekstual hadits diatas dapat diartikan dalam berbagai dimensi. Dalam sebuah komunitas, masyarakat dan agama setiap manusia memiliki sistem yang mengatur mereka maka wajar sebagai bagian dari sistem tersebut untuk mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Namun ketaatan tersebut tidak serta merta menjadi sikap yang selalu taklid terhadap pemimpin. Dalam Islam diajarkan tidak diperbolehkan taat atau memetuhi pemimpin kecuali dalam batas-batas yang telah dijelaskan Allah dalam al-Qur’an dan Hadits bahwa tidak wajib memetuhi seorang pemimpin melainkan karena Allah.
3) Larangan meminta jabatan & Mengangkat pejabat karena memintanya
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Artinya :
Dari Abdurrahman ibn Smurah ra. Ia berkata : Rasulullah bersabda :”Wahai Abdurrahman Ibn sammurah, janganlah kamu meminta jabatan. Apabila kamu diberi dan tidak memintanya, kamu akan mendapat pertolongan Allah dalam melaksanakannya. Dan jika kau diberi jabatan karena memintanya, jabatan itu diserahkan sepenuhnya. Apabila kamu bersumpah terhadap satu perbuatan, kemudian kamu melihat ada perbuatan yang lebih baik, maka kerjakanlah perbuatan yang lebih baik itu.
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلَانِ مِنْ بَنِي عَمِّي فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِّرْنَا عَلَى بَعْضِ مَا وَلَّاكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَقَالَ الْآخَرُ مِثْلَ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّا وَاللَّهِ لَا نُوَلِّي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلَا أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ
Artinya:
Dari Abu Musa al-Asy’ari ra., ia berkata: bersama dua orang saudara sepupu, saya mendatangi Nabi Saw. kemudian salah satu diantara keduanya berkata: Wahai Rasulullah, berilah kami jabatan pada sebagian dari yang telah Allah kuasakan terhadapmu. Dan yang lain juga berkata begitu. Lalu beliau bersabda: Demi Allah, aku tidak akan mengangkat pejabat karena memintanya, atau berambisi dengan jabatan itu.
Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi lingkungan pekerjaannya, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi negerinya. Berdasarkan hadits diatas dapat dipahami bahwa yang menjadi penentu adalah masyarakat atau komunitas, bukan sikap mengharapkan sebuah jabatan dengan meminta. Dengan meminta maka jabatan tersebut bukan lagi sebuah pengembanan amanat masyarakat atau komunitas yang dipimpin melainkan keinginan pribadi dengan tujuan tertentu.
Kepemimpinan adalah tanggung jawab yang dimulai dari dalam diri kita. Kepemimpinan menuntut suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Kepemimpinan sejati dimulai dari dalam dan kemudian bergerak ke luar untuk bertanggungjawab kepada yang dipimpin. Disinilah pentingnya karakter dan integritas seorang pemimpin untuk menjadi pemimpin sejati dan diterima oleh masyarakat atau komunitas yang dipimpinnya. Kembali betapa banyak kita saksikan para pemimpin yang mengaku wakil rakyat ataupun pejabat publik, justru tidak memiliki integritas sama sekali, karena apa yang diucapkan dan dijanjikan ketika kampanye dalam Pemilu tidak sama dengan yang dilakukan ketika sudah duduk nyaman di kursinya. Wallahu A’lam …

HADITS TENTANG PEMIMPIN

PENDAHULUAN
Hadits atau sunnah merupakan salah satu sumber ajaran islam yang menduduki posisi sangat signifikan, baik secara structural menduduki posisi kedua setelah al-qur’an, namun jika dilihat secara fungsional, ia merupakan bayan (ekspanasi) terhadap ayat-ayat al-qur’an yang bersifat umum, global atau mutlaq. Secara tersirat, al-qur’an pun mendukng ide tersebut. Antaran lain firman Allah swt.
“dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,” ( QS. An-Nahl: 44)
Adanya perintah agar Nabi saw menjelaskan kepada umat manusia mengenai al-qur’an, baik melalui ucapan, perbuatan atau taqrirnya. Dan hadits berfungsi sebagai bayan (penjelas) terhdapa al-qur’an.
Mengenai pentingnya hadits (as-sunnah) dalam ajaran Islam, Nabi saw sendiri pernah bersabda melalui hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, yaitu:
قال النبى صلى الله عليه وسلم: تركت فيكم امرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما، كتاب الله وسنة رسوله (امام مالك)
“Aku tinggalkan untuk kamu sekalian dua hal. Jika kalian mau berpegang teguh kepadanya niscaya kamu sekalian tidak akan sesat selama-lamanya, dua hal itu adalah kitab Allah (al-qur’an) dan sunnah Rasul-Nya (al-Hadits). (HR Imam Malik)
PEMBAHASAN
Hadits Tentang Pemimpin Memikul Tanggung Jawab
حديث عبد الله بن عمر رضي الله عنهما. ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: كللكم راع فمسؤل عن رعيته فالامير الذي على الناس راع وهو مسؤل عنهم. والرجل راع على اهل بيته وهو مسؤل عنهم. والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسؤلة عنهم. والعبد راع على مال سيده وهو مسؤل عنه، الا فكلكم راع و كللكم مسؤل عن رعيته
- اخرجه البخارى فى 490 كتاب العتق: 17- باب كرهية التطاول على الرقيق
Hadits Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan rakyat adalah pemimpin. Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya di rumahnya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya. Ia akan diminta pertanggungjawaban tentang hal mereka itu. Seorang hamba adalah pemimpin terhadap harta benda tuannya, ia kan diminta pertanggungjawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah, kamu semua adalah pemimpin dan semua akan diminta pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.[1]
Dalam sejarah riyadhus shalihin dijelaskan, bahwa seorang wajib menegakkan keadilan dalam diri dan keluarganya, dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Adil dalam dirinya dengan tidak memberatkan pada sesuatu yang tidak dieprintahkan Allah, dia harus memperhatikannya hingga kepada masalah kebaikan, jangan memberatkan dan membebankannya terhadap sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.
Demikian juga wajib bersikap adil bagi seorang suami terhadapkeluarganya. Seperti orang yang memiliki dua orang istri, ia wajib bersikap adil diantara keduanya. Dan wajib pula bersikap adil kepada anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang istri yang juga seorang pemimpin dalam rumah suaminya. Baik dalam menjaga harta suaminya dan tidak menghambur-hamburkannya.[2]
Hadits Tentang Pemimpin Pelayan Masyarakat
حديث معقل بن يسار عن الحسن، ان عبيد الله بن زياد عاد معقل بن يسار فى مرضه الذي مات فيه، فقال له معقل: انى محدئك هديئا سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ما من عبد استرعاه الله وعية فلم يحطلها بنصيحة الا لم يجد رائحة الجنة
- اخرجه البخارى فى 930 كتاب الاحكام: 8- باب من استرعى رعية فلم ينصح
Hadits ma’qil bin Yasar, dari hasan bahwasanya Ubaidillah bin yazid mengunjungi Ma’qil bertanya kepadanya: bahwasanya saya akan ceritakan kepadamu suatu hadits yang saya dengar dari Rasulullah saw saya mendengar nabi saw bersabda: “tidak ada seorang hamba yang diberi tugas oleh Allah untuk memelihara segolongan rakyat, lalu ia tidak melakukan sesuai dengan petunjuk, melainkan ia tidak memperoleh bau saya”[3]
Dalam syarah riyadhus shalihin yang dijelaskan oleh syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, wajib bagi seorang yang memegang tonggak kepemimpinan untuk bersikap lemah lembut kepada rakyatnya, berbuat baik an selalu memperhatikan kemaslahatan mereka dengan mempekerjakan orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Menolak bahaya yang menimpa mereka. Karena seorang pemimpin akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya dihadapan Allah ta’ala.

Selasa, 28 Mei 2013

Definisi Manajemen Dakwah

  1. Pengertian Manajemen Dakwah
Jika aktivitas dakwah dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen, maka “citra profesional” dalam dakwah akan terwujud dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian dakwah tidak hanya dipakai dalam objek ubudiah saja, akan tetapi diinterpresikan dalam beberapa profesi. Inilah yang dijadikan inti dari pengaturan secara manajerial organisasi dakwah. Aktivitas dakwah dikatakan berjalan secara efektif apabila apa yang menjadi tujuannya benar-benar tercapai, dan dalam pencapaiannya membutuhkan pengorbanan-pengorbanan yang wajar.
Jika dilihat dari segi bahasa pengertian Manajemen Dakwah memiliki dua pengertian. Pertama pengertian Manajemen dan kedua pengertian Dakwah.
Pertama pengertian manajemen, secara etimologis, kata manajemen berasal dari bahasa inggris, management, yang berarti ketatalaksanaan, tata pimpinan dan pengelolaan. Artinya manajemen adalah sebagai suatu proses yang diterapkan oeh individu atau kelompok dalam upaya-upaya koordinasi dalam mencapai suatu tujuan.
Dalam bahasa Arab istilah manajemen diartikan sebagai an-nizam atau at-tanzim, yang merupakan suatu tempat untuk menyimpan segala sesuatu dan penempatan segala sesuatu pada tempatnya.1
Pengertian tersebut dalam sekala aktivitas juga dapat diartikan sebagai aktivitas menertibkan, mengatur dan berpikir yang dilakukan oleh seseorang, sehingga ia mampu mengemukakan, menata, dan merapikan segala sesuatu yang ada di sekitarnya, mengetahui prinsip-prinsipnya serta menjadikan hidup selaras dan serasi dengan yang lainnya.
Sedangkan secara terminologi terdapat banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah :
The process of planing, organizing,leading,and controling the work of organization members and of using all availeabel organizational resources to reach stated organizatonal goals”.2
[Sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengaturan terhadap para anggota orgaisasi serta penggunaan seluruh sumber-sumber yang ada secara tepat untuk meraih tujuan organisasi yang telah di tetapkan]
Pengertian manajemen menurut para ahli:
  1. Menurut James A.F. Stoner: Manajemen adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya dari anggota organisasi serta penggunaan sumua sumber daya yang ada pada organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
  2. Dr. Buchari Zainun: “Manajemen adalah penggunaan efektif daripada sumber-sumber tenaga manusia serta bahan-bahan material lainnya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan itu.”
  3. Prof. Oey Liang Lee: “Manajemen adalah seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, dan mengontrolan dari human and natural resources.”3
  4. Menurut James A.F. Stoner: Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian dan penggunakan sumberdaya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi tang telah ditetapkan.

Pengertian yang kedua yaitu pengertian dakwah, secara etimologis, dakwah berasal dari bahasa Arab, yaitu da'a, yad'u' da'wan, du'a,4 yang diartikan sebagai upaya mengajak, menyeru, memanggil, seruan, permohonan, dan permintaan. Istilah ini sering diberi arti yang sama dengan istilah tabligh, amr ma'ruf nahyi munkar, mau'idzah hasanah, tabsyir, indzhar, washiyah, tarbiyah, ta'lim, dan khatbah.
Dari definisi tersebut maka dapat disimpulkan makna dakwah islam yaitu sebagai kegiatan mengajak, mendorong dan memotivasi orang lain berdasarkan bashirah untuk meniti jalan Allah dan Istiqomah dijaln-Nya serta berjuang bersama meninggikan agama Allah.
Dari definisi manajemen dan dakwah tersebut dapat disimpulkan bahwa Pengertian Manajemen dakwah yaitu sebagai pproses perencanaan tugas, mengelompokan tugas, menghimpun dan menempatkan tenaga-tenaga pelaksana dalam kelompok-kelompok tugas dan kemudian menggerakan ke arah tujuan dakwah.5[A.Rosyad Shaleh]
Inilah yangmerupakan inti dari manajemen dakwah, yaitu sebuah pengaturan secara sistematik dan koordinatif dalam kegiatan atau aktifitas dakwah yang dimulai dari sebelum pelaksanaan sampai akhir dari kegiatan dakwah.

2. Tujuan Manajemen Dakwah
Tujuan adalah sesuatu yang hendak dicapai dan merupakan sebuah pedoman badi manajemen puncak organisasi untuk meraih hasil tertentu atas kegiatan yang dilakukan dalam dimensi waktu tertentu. Tujuan diasumsikan berbeda dengan sasaran. Dalam tujuan memiliki target-terget tertentu untuk dicapai dalam waktu tertentu. Sedangkan sasaran adalah yang telah ditetapkan oleh manajmen puncak untuk menentukan arah organisasi dalam jangka panjang.
Menurut Asmuni Syukir dalam bukunya mengemukakan tujuan dakwah bahwa pada khususnya tujuan dakwah itu ialah:
  1. Mengajak umat manusia yang sudah memeluk islam untuk selalu meningkatkan taqwanya kepada Allah swt.
  2. Membina mental agama islam bagi kaum yang masih mualaf.
  3. Mengajak umat manusia yang belum beriman agar beriman kepada Allah (memeluk agama islam).
  4. Mendidik dan mengajar anak-anak agar tidak menyimpang dari fithrahnya.6

Sementara itu M. Natsir, dalam serial dakwah Media Dakwah mengemukakan, bahwa tujuan dari dakwah itu adalah:
  1. Memanggil kita pada syarita, untuk memecahkan persoalan hidup, baik persoalan hidup perseorangan atau persolanan rumah tangga, berjamaah masyarakat, berbangsa-bersuku bangsa, bernegara dan berantar-nergara.
  2. Memanggil kita pada fungsi hidup sebagai hamba Allah di atas dunia yang terbentang luas yang berisikan manusia secara heterogen, bermacam karakter, pendirian dan kepercayaan, yakni fungsi sebagai syuhada’ala an-naas, menjadi pelopor dan pengawas manusia.
  3. Memanggil kita kepada tujuan hidup yang hakiki, yakni menyembah Allah.

Tujuan dakwah secara umum adalah mengubah perilaku sasaran agar mau menerima ajaran Islam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik yang bersangkutan dengan masalah pribadi, keluarga maupun sosial kemasyarakatnya, agar mendapatkan keberkahan dari Allah Swt. Sedangkan tujuan dakwah secara khusus dakwah merupakan perumusan tujuan umum sebagai perincian daripada tujuan dakwah.7

  1. Fungsi-fungsi Manajemen
Manajemen oleh para penulis dinagi atas beberapa fungsi. Pembagian fungsi-fungsi manajemen ini tujaunya adalah :8
a. supaya sistematika urutan pembahasannya lebih teratur;
b. agar analisis pembahasannya lebih mudah dan lebih mendalam;
c. untuk menjadi pedoman pelaksanaan proses manajemen dari manajer.
Fungsi-fungsi manajemen yang dikemukakan para ahli tidak sama. Hal ini disebabkan latar belakang penulis, jadi pendekatan yang dilakukan tiadak sama. Adapun Fungsi manajemen adalah elemen-elemen dasar yang akan selalu ada dan melekat di dalam proses manajemen yang akan dijadikan acuan oleh manajer dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan. Pada umumnya ada empat (4) fungsi manajemen yang banyak dikenal masyarakat yaitu fungsi perencanaan (planning), fungsi pengorganisasian (organizing), fungsi pengarahan (directing) dan fungsi pengendalian (controlling). Untuk fungsi pengorganisasian terdapat pula fungsi staffing (pembentukan staf). Para manajer dalam organisasi perusahaan bisnis diharapkan mampu menguasai semua fungsi manajemen yang ada untuk mendapatkan hasil manajemen yang maksimal.
adapun fungsi-fungsi manajemen adalah;
  1. Planning
Fungsi perencanaan adalah suatu kegiatan membuat tujuan perusahaan dan diikuti dengan membuat berbagai rencana untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan tersebut.
  1. Organizing
Fungsi perngorganisasian adalah suatu kegiatan pengaturan pada sumber daya manusia dan sumberdaya fisik lain yang dimiliki perusahaan untuk menjalankan rencana yang telah ditetapkan serta menggapai tujuan perusahaan.
  1. Directing
Fungsi pengarahan adalah suatu fungsi kepemimpinan manajer untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi kerja secara maksimal serta menciptakan lingkungan kerja yang sehat, dinamis, dan lain sebagainya.
  1. Controling
Fungsi pengendalian adalah suatu aktivitas menilai kinerja berdasarkan standar yang telah dibuat untuk kemudian dibuat perubahan atau perbaikan jika diperlukan.

  1. Fungsi-fungsi Manajemen Dakwah
Dalam kaitan ini Fungsi manajemen dakwah berlangsung pada tataran dakwah itu sendiri. Dimana setiap aktivitas dakwah khususnya dalam skala organisasi atau lembaga untuk mencapai suatu tujuan dibutuhkan sebuah pengaturan atau manajemerial yang baik, ruang lingkup kegiatan dakwah merupakan sarana atau alat pembantu pada aktivitas dakwah itu sendiri.
Adapun unsur-unsur manajerial atau 'amaliyyah al'idariyyah tersebut merupakan sebuah kesatuan yang utuh yang terdiri dari :9
  1. Takhthith (Perencanaan Dakwah)
secara alami merupakan bagian dari sunatullah, yaitu dengan melihat bagaimana Allah SWT. menciptakan alam semesta dengan hak dan perencanaan yang matang serta disertai tujuan dakwah
Dalam aktivitas dakwah, perencanaan dakwah bertugas menentukan langkah dan program dalam menentukan setiap sasaran, menentukan sarana-prasarana atau media dakwah, serta personel da'i yang akan diterjunkan. Menentukan materi yang cocok untuk sempurnanya pelaksanaan, membuat asumsi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi yang kadang-kadang dapat memengaruhi cara pelaksanaan program dan cara menghadapinya serta menentukan alternatif-alternatif, yang semua itu merupakan tgas utama dari sebuah perencanaan.10


  1. Tanzhim (Pengorganisasian Dakwah)
Menjelaskan bagaimana pengelolaan rencana itu, yakni dilakukannya pembagian aplikatif dakwah dengan lebih terperinciPengorganisasian adalah seluruh proses pengelompokkan orang-ornag, alat-alat, tugas-tugas, tanggung jawab, dan wewenang sedemikian rupa sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai suatu kesatuan dalam rangka mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan.

Sementara itu, Rosyid Saleh mengemukakan bahwa rumusan pengorganisasian dakwah itu adalah “rangkaian aktivita menyusun suatu kerangka yang menjadi wadah bagi setiap kegiatan usaha dakwah dengan jalan membagi dan mengelompokkan pekerjaan yang harus dilaksanakan serta menetapkan dan menyusun jalinan hubungan kerja diantara satuan-satuan organisasi atau petugasnya.

  1. Tawjih (Penggerakan Dakwah)
Merupakan inti dari dakwah itu sendiri yaitu seluruh proses pemberian motivasi kerja kepada para bawahan sedemikian rupa, sehingga mereka mampu bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan organisasi dengan efisien dan ekonomis.
Motivasi diartikan sebagai kemampuan seorang manajer atau pemimpin dakwah dalam memberikan sebuah kegairahan, kegiatan dan pengertian, sehingga para anggotanya mampu untuk mendukung dan bekerja secara ikhlas untuk mencapai tujuan organisasi sesuai tugas yang dibebankan kepadanya.

  1. Riqaabah (Pengendalian Dakwah)
Evaluasi dakwah dirancang untuk diberikan kepada orang yang dinilai dan orang yang menilai informasi mengenai hasil karya. Pengendalian manajemen dakwah dapat dikatakan sebagai sebuah pengetahuan teoritis praktis. Karena itu, para da;i akan lebih cepat untuk mencernanya jika dikaitkan dengan prilaku dari da'i itu sendiri sesuai dengan organisasi. Dengan demikian, pengendalian manajemen dakwah dapat dikategorikan sebagai bagian dari prilaku terapan, yang berorientasi kepada sebuah tuntutan bagi para da'i tentang cara menjalankan dan mengendalikan organisasi dakwah yang dianggap baik. Tetapi yang paling utama adalah komitmen manajemen dengan satu tim dalam menjalankan sebuah organisasi dakwah secara efisien dan efektif, sehingga dapat menghayati penerapan sebuah pengendalian.
Tujuan diberlakukannya evaluasi ini yaitu agar mencapi konklusi dakwah yang evaluatif dan memberi pertimbangan mengenai hasil karya serta mengembangkan karya dalam sebuah program. Sedangkan evaluasi dakwah dinilai penting karena dapat menjamin keselamatan pelaksanaan dan perjalanan dakwah, mengetahu berbagau persoalan dan problematika yang dihadapi serta cara antisifasi dan penuntasan seketika sehingga akan melahirkan kemantafan bagi para aktifis dakwah.

  1. Ruang Lingkup Manajemen Dakwah
Ruang lingkup kegiatan dakwah dalam tataran manajemen merupakan sarana atau alat pembantu pada aktivitas dakwah itu sendiri. Karena dalam sebuah aktivitas dakwah itu akan timbul masalah atau problem yang sangat kompleks, yang dalam menangani serta mengantisipasinya diperlukan sebuah strategi yang sistematis. Dalam konteks ini, maka ilmu manajemen sangat berpengaruh dalam pengelolaan sebuah lembaga atau organisasi dakwah sampai pada tujuan yang diinginkan.
Sedangkan ruang lingkup dakwah akan berputar pada kegiatan dakwah, di mana dalam aktivitas tersebut diperlukan seperangkat pendukung dalam mencapai kesuksesan. Adapun hal-hal yang mempengaruhi aktivitas dakwah antara lain meliputi:
  • Keberadaan seorang da’I, baik yang terjun secara langsung maupun tidak langsung, dalam pengertian eksistensi da’I yang bergerak di bidang dakwah itu sendiri.
  • Materi merupakan isi yang akan disampaikan kepada mad’u, pada tataran ini materi harus bisa memenuhi atau yang dibutuhkan oleh mad’u, sehingga akan mancapai sasaran dakwah itu sendiri, dan
  • Mad’u kegiatan dakwah harus jelas sasarannya, dalam artian ada objek yang akan didakwahi.11








Drs. H. Malayu S.P. Hasibuan, 2009, Manajemen Dasar Pengertian dan Masalah, Bumi Aksara, Bandung.
Drs. RB. Khatib Pahlawan kayo, 2007, Manajemen Dakwah dari Dakwah Konvensional menuju Dakwah professional, Amzah, Jakarta.
Dr. H.M. Anton Athoillah, M.M., 2010, Dasar-dasar Manajemen, CV Pustaka Setia, Bandung.
Drs. Enjang AS, M.Ag., M.Si. dan Aliyudin, S.Ag., M.Ag., 2009, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, Widya Padjadjaran, Bandung.
Drs. ABD. Rosyad Shaleh, 1977, Manajemen Dakwah Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag., 2009, Ilmu Dakwah, Kencana, Bandung
Munir, S.Ag, M.A. dan Wahyu Illaihi, S.Ag, M.A., 2009, Manajemen Dakwah, Kencana, Jakarta.

Dr. H. Endin Nasrudin, M.Si., 2010, Psikologi Manajemen, CV Pustaka Setia, Bandung.

Habib, Syafaat, 1982, Buku Pedoman Dakwah, Penerbit Widjaya, Jakarta.
Mubarok Achmad, DR. MA., 1999, Psikologi Dakwah, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Munzier Suparta dan Harjani, 2003, Metode Dakwah, Rahmat Semesta, Jakarta.
Ali Azis, Moh, 2004, Ilmu Dakwah, Timur Kencana, Jakarta.
Fauzi, Nurullah, 1999, Dakwah-dakwah yang paling mudah, Putra pelajar, Jawa Timur.
Jahja Omar, Toha, 1992, Ilmu Dakwah, Widjaya, Jakarta.


1Al-Mu'ajm al-Wajiiz, Majma'ul-Lughoh al-Arrabiyyah, huruf Nuun.

2James A.F. Stoner,R.Edward Freeman, Daniel R Gillbert,JR,Managemen Sixt Edition,[New Jersey:Prentice Hall,1995],hlm 7.

3Drs. RB. Khatib Pahlawan kayo, Manajemen Dakwah dari Dakwah Konvensional menuju Dakwah professional, [Jakarta: Amzah, Cet. 1, 2007], hlm. 17

4Majma' al-Lughah al-Arabiyah, 1972:286.
5Zaini Muhtarom, Dasar-dasar Manajemen Dakwah, [Yogyakarta: PT al-Amin Press, 1996],hlm.37
6
Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, [Surabaya: Al-Ikhlas, 1983], hlm. 49

METODE DAKWAH RASULULLAH


Komunikasi merupakan bagian inheren dalam kehidupan manusia. Bahkan, mempunyai urgensi yang besar dalam menjalani kehidupan itu sendiri, dimana dengan berkomunikasi manusia dapat mengutarakan maksud dan keinginannya serta mentranfer nilai-nilai tertentu yang diinginkan.
Islam sebagai agama yang kaafah dan syumul juga sangat memperhatikan konsep dan nilai dalam berkomunikasi. Sebab, dakwah Islam sendiri berpadu padan dengan komunikasi atau boleh dibilang dakwah itu salah satu bentuk komunikasi.
Sementara itu, komunikasi memiliki seni tersendiri agar suatu informasi dapat diterima dengan baik, benar, dan tepat kepada komunikan. Sehingga, tidak keliru dalam memahami informasi yang dimaksud serta tidak salah memahami keinginan sang pemberi informasi tersebut.
Dalam sejarah dakwah Islam, Rasulullah SAW juga sangat memperhatikan metode dakwah agar pesan dakwah dapat diterima dengan baik bagi mad’u (yang didakwahi).
Hal itu dapat dilihat ketika Rasulullah saw melaksanakan wahyu Allah Ta’ala untuk mentauhidkan akidah umat yang keliru dengan menuhankan banyak Illah dan membersihkan peribadahan dari segala bentuk kesyirikan. Beliau secara khusus memiliki sebuah tugas mulia dengan jalan mendakwahkan dien Islam ini kepada umat melalui metode yang haq yaitu berupa cara-cara yang sesuai dengan petunjuk Allah Ta’ala. Diantara metode dakwah beliau saw adalah:
1.  Bil hikmah wal mau’izhah
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl, 16:125)
Hikmah ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Oleh sebab itulah Allah Ta’ala meletakkan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai asas pedoman dakwah bagi Rasulullah dan juga bagi tiap umat yang bertugas meneruskan dakwah beliau hingga akhir zaman.
Pada ayat tersebut diatas dapat dipahami bahwa cara berdakwah yang diperintah Allah Ta’ala adalah sebagai berikut,
  1. Dakwah bil hikmah, yaitu metode dakwah dengan memberi perhatian yang teliti terhadap keadaan dan suasana yang melingkungi para mad’u (orang-orang yang didakwahi), juga memperhatikan materi dakwah yang sesuai dengan kadar kemampuan mereka dengan tidak memberatkan mereka sebelum mereka bersedia untuk menerimanya. Metode ini juga membutuhkan cara berbicara dan berbahasa yang santun dan lugas. Sikap ghiroh yang berlebihan serta terburu-buru dalam meraih tujuan dakwah sehingga melampaui dari hikmah itu sendiri, lebih baik dihindari oleh seorang pendakwah.
  2. Dakwah dengan cara mau’izhah al-hasanah, yaitu metode dakwah dengan pengajaran yang meresap hingga ke hati para mad’u. Pengajaran yang disampaikan dengan penuh kelembutan akan dapat melunakkan kerasnya jiwa serta mencerahkan hati yang kelam dari petunjuk dien. Pada beberapa da’i, ada yang masih saja menggunakan metode dakwah yang berseberangan dengan hal ini, yaitu dengan cara memaksa, sikap yang kasar, serta kecaman-kecaman yang melampaui batas syar’i.
  3. Dakwah dengan perdebatan yang baik, yaitu metode dakwah dengan menggunakan dialog yang baik, tanpa tekanan yang zalim terhadap pihak yang didakwahi, tanpa menghina dan tanpa memburuk-burukkan mereka. Hal ini menjadi penting karena tujuan dakwah adalah sampai atau diterimanya materi dakwah tersebut dengan kesadaran yang penuh terhadap kebenaran yang haq dari objek dakwah. Metode ini menghindari dari semata karena ingin memenangkan perdebatan dengan para mad’u.
2.  Benar dan tegas tanpa kompromi
Sesungguhnya dakwah Rasulullah merupakan dakwah yang tegas tanpa kompromi. Perkara yang beliau saw sentuh dalam dakwahnya adalah perkara yang paling pokok dan paling mendasar, laa ilaaha illallah, Muhammadur rasulullah. Beliau saw menyeru bahwa tidak ada yang wajib diagungkan, diibadahi, ditaati dan dicintai kecuali Allah Ta’ala. Begitu juga terhadap perkara hukum, tidak ada hukum yang wajib diterapkan dan dilaksanakan, kecuali hukum-Nya. Oleh karenanya perkara ini menjadi sangat penting dan oleh karena sifat pembangkangan umat kafir serta muslim yang munafik, maka dakwah ini juga akan menimbulkan kecaman, kemarahan, dan permusuhan.
Namun perkara yang tidak menyenangkan hati ini tidak menurunkan semangat beliau saw untuk tetap berjuang menyampaikan yang haq. Dengan penuh kesabaran dan sifat welas-asihnya, beliau saw beristiqomah membimbing umatnya yang keliru kepada jalan yang lurus. Disamping itu, ketegasan pun beliau saw tampakkan sehingga kebenaran yang hakiki tidak bercampur dengan kebatilan. Beliau saw juga tidak melazimkan hal-hal diluar syari’at yang akan menimbulkan ‘kecintaan’ dari umat yang dengan itu beliau saw akan memperoleh dukungan yang besar.
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. al-Hijr, 15:94)
Tujuan dakwah Rasulullah adalah mengembalikan sifat penghambaan manusia kepada Rabb-nya semata dan menerapkan hukum yang berlaku di bumi kepada Sang Pembuat hukum Yang sebenarnya, yaitu Allah azza wa jalla. Perkara ini merupakan perkara yang amat berat yang akan menimbulkan ujian dan rintangan berupa penderitaan dan kesakitan, baik jiwa dan fisik.
Melihat kenyataan ini, lalu beranikah kita menuduh Rasulullah tidak mengenal metode dakwah? Ataukah kita menyatakan bahwa dakwah beliau saw menyalahi taktik strategi bagi keamanan dan keselamatannya? Atau bagaimana pula dengan anggapan bahwa dakwah semacam ini seperti membenturkan kepala ke tembok?
Yang patut selalu dipahami adalah bahwa Rasulullah adalah sosok tauladan yang sempurna di segala aspek kehidupan, termasuk dalam metode dakwah. Hal inilah yang patut dijadikan contoh oleh para du’at. Oleh sebab itu, perkataan sebagian umat Islam dewasa ini bahwa situasi umat telah berubah, dahulu umat baru sedikit jumlahnya, sedangkan kini umat Islam merupakan mayoritas sehingga cara yang harus diambil adalah dengan bersaing bahkan dengan bergabung dengan penguasa melalui parlemen. Dalilpun diangkat sebagai pemulus hajat, yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari bahwa Rasulullah pernah bersabda tentang para nabi keturunan bani Israil yang diutus sebagai para pemimpin politik (siyasah).
Pertanyaan mengenai perkara ini adalah pernahkah Rasulullah dan para sahabatnya duduk berdampingan dalam parlemen Daarun Nadwah, lalu berbincang masalah kenegaraan dengan orang kafir dan musyrik? Adakah Rasulullah dan para sahabatnya masuk ke dalam pemerintahan Abu Jahal dan konco-konconya lalu membentuk partai Islam sebagai partai oposisi menentang pemerintahan yang sedang berkuasa? Secara historis kita bisa mempelajari hal ini.
Dahulu, tatkala kaum musyrikin sudah tidak lagi berdaya menghentikan dakwah Rasulullah melalui cara-cara kekerasan, penekanan, ancaman, serta percobaan pembunuhan—mereka lalu menempuh cara berkompromi dengan berbagai bentuk diplomasi agar Rasulullah bersikap lembut dan toleran kepada mereka. Banyak para ahli diplomasi diutus kepada beliau saw untuk melunakkan prinsip dan pendirian beliau saw. Allah Ta’ala lalu mewahyukan ayat berikut kepada Rasulullah,
Artinya, “Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah), maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (QS. al-Qolam, 68:8-9)
Lalu ketika negosiasi telah gencar-gencarnya ditujukan kepada Rasulullah oleh pihak musyrikin melalui tekanan fisik dan juga mental, dan ketika Rasulullah hampir cenderung kepada konsep dan ajakan mereka, Allah Ta’ala kembali mengingatkan,
Artinya, “Dan sesungguhnya mereka hampir-hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara dusta terhadap Kami, dan kalau sudah demikian tentulah mereka mengambil kamu sebagai sahabat setia. Dan sekiranya Kami tidak memperkuat kamu, niscaya kamu condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan timpakan kepadamu (siksaan) berlipat-ganda di dunia, dan (begitu pula berlipat-ganda) sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapatkan seorang penolongpun terhadap Kami.” (QS. al-Isra’, 17:73-75)
Allah Ta’ala mengingatkan bahwa masalah tauhid dan syari’at tidak bisa disamakan dengan masalah perdagangan yang diperbolehkan terjadinya tawar-menawar guna menemukan titik-pertemuan yang sama-sama menyenangkan bagi kedua-belah pihak. Masalah akidah merupakan masalah tersendiri yang tidak memerlukan campuran-campuran baru dari makhluk. Akidah juga merupakan satu hakekat yang mempunyai bagian-bagian yang terpadu yang tidak dapat ditinggalkan sedikitpun oleh pejuang-pejuangnya. Jurang yang memisahkan antara kebenaran yang hakiki dengan kebatilan adalah tidak mungkin dibuatkan perlintasan padanya. Ia merupakan pertarungan yang mutlak dan tidak mungkin dicari perdamaian atasnya.
3.  Tidak menambah dan mengurangi satu huruf pun dari materi dakwah
Orang-orang kafir semasa Rasulullah senantiasa mencari jalan untuk menyelewengkan Rasulullah dari sifat dan karakter dakwahnya yang benar dan tegas. Mereka menginginkan agar Rasulullah mengikuti kehendak hawa-nafsu mereka dengan mengemukakan segala janji dan tipu-muslihat agar beliau saw meninggalkan prinsip dan bergeser dari jalan yang telah ditetapkan-Nya. Dalam al-Qur’an, sifat keengganan mereka mengikuti al-Qur’an dan sikap mereka yang berupaya agar Rasulullah mengganti petunjuk yang haq dengan yang mereka kehendaki yaitu pada firman-Nya,
Artinya, “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, “Datangkanlah al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia.” Katakanlah, “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari sisiku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat).” (QS. Yunus, 10:15)
Inilah dalil Rabbani, memperingatkan nabi-Nya agar tidak merekayasa sistem dakwah dan perjuangan mengikuti konsep orang kafir yaitu memperjuangkan Islam melalui cara kompromi atau sistem demokrasi. Sekiranya Rasulullah cenderung dan setuju untuk berkompromi sebagaimana yang ditawarkan musyrikin Mekkah kala itu, yaitu sesekali mengikuti peribadahan mereka, sehingga mereka pun akan bergantian mengikuti peribadahan Rasulullah, atau dengan menyetujui usulan mereka dalam mencampur-adukkan antara sistem Rabbani dengan sistem jahiliyah, niscaya Allah Ta’ala akan memvonis beliau saw sebagai orang yang berdusta lagi berkhianat terhadap wahyu-Nya. Berikut firman-Nya,
Artinya, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika kamu tidak kerjakan (apa yang diperintah itu) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. al-Maidah, 5:67)
Allah Ta’ala amat pengasih lagi penyayang kepada para nabi dan rasul-Nya sehingga Dia membimbing dan senantiasa memperkuat hati para hamba pilihan-Nya tersebut dari kecenderungan untuk berkompromi kepada jalannya orang-orang yang sesat. Sejak hijrah ke Madinah hingga di akhir kehidupan beliau saw, tidak ada waktu yang terlewatkan melainkan untuk berdakwah menebarkan yang haq dan berjihad qital dalam rangka membela dien Islam dari serangan kaum yang memusuhi dien-Nya. Tidak ditemui pada diri beliau saw, meskipun dalam keadaan lemah, untuk bekerja-sama dengan kafir musyrik dalam memperjuangkan dienullah.
Allah Ta’ala telah memperingatkan,
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi teman kepercayaanmu, orang-orang yang diluar kalanganmu karena mereka tak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu, telah nyata kebencian di mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh Kami telah menerangkan ayat-ayat (Kami) jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata, “Kami beriman.” Dan apabila mereka menyendiri mereka menggigit ujung jari lantaran marah dan bercampur benci kepadamu. Katakanlah, “Matilah kamu dengan kemarahanmu itu, sesungguhnya Allah Maha memahami segala isi hati.” (QS. Ali ‘Imron, 3:118-119)
Apabila manusia sekarang ini dan juga yang akan datang tidak mau memahami dan mengambil pelajaran dari perkara penting ini, maka saksikanlah apa yang sudah dan yang akan terjadi akibat mendurhakai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Dan manakala umat Islam belum bersedia merubah sistem perjuangan parlementer kepada sistem yang yang telah digariskan al-Qur’an, yaitu metode iman, hijrah, i’dad, jihad, dan qital, maka yakinlah perjuangan itu tidak akan pernah sampai kepada cita-cita yang dituju.
Pengalaman di Indonesia misalnya, di zaman rezim Soekarno berkuasa pada pemilu tahun 1955, partai Islam Masyumi berhasil mengungguli perolehan suara partai nasionalis. Oleh karena itu tokoh-tokohnya berhak menduduki jabatan sebagai perdana menteri dan jabatan penting lainnya di pemerintahan, seperti M. Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Dr. Soekiman, dan Burhanuddin Harahap. Akan tetapi kejayaan itu tidak berlangsung lama dan sejarah menjadi saksi bahwa bukan saja partai Masyumi dibubarkan oleh diktator Soekarno, bahkan mereka ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili. Sementara harapan mereka untuk membangun masyarakat Islam dengan berlakunya syari’at Islam, belum terwujud di Indonesia, baik di kala mereka masih memerintah apatah lagi setelah mereka dipenjarakan.
Di Mesir tahun 1945, Imam Hasan al-Bana tampil sebagai calon tunggal melawan Dr. Sulaiman Ed di daerah Ismailiyah kawasan Terusan Suez. Menurut prediksi politik, perolehan suara akan dimenangkan oleh Imam Hasan al-Bana, Mursyidul ‘Am Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi setelah pengumuman hasil pemilu ternyata kemenangan berada di pihak Dr. Sulaiman Ed. Tatkala jama’ah ikhwan mengadakan protes terhadap pemalsuan kartu suara, tiba-tiba mobil-mobil tank angkatan bersenjata milik Inggris keluar menerjang perhimpunan tersebut dengan melepaskan tembakan-tembakan ke arah jama’ah Ikhwanul Muslimin.
Dua hal tersebut adalah sedikit contoh bentuk kehinaan yang diterima umat Islam akibat meninggalkan sunnah, kecenderungan bekerja-sama dengan cara-cara yang tidak diridhai-Nya, serta keengganan mempersiapkan kekuatan fisik untuk berjihad secara qital melawan musuh yang memerangi dien-Nya.
Camkanlah seruan Allah Ta’ala,
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari-Nya padahal kamu mendengar (perintah-perintah-Nya) dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang (yang munafik) yang berkata, “Kami mendengarkan,” padahal mereka tidak mendengarkan (karena hati mereka mengingkarinya).” (QS. al-Anfal, 8:20-21)
Semoga bermanfa’at wallahu ‘alam bishowwab.
(Disadur dengan sedikit perubahan dari kitab Rojulun Sholih (Karakteristik Lelaki Shalih) karya Ust. Abu Muhammad Jibriel AR)
Sumber: http://abujibriel.com

Ayat-ayat dakwah

Ayat-ayat dakwah

DAKWAH 
Mengajak manusia menuju agama Allah merupakan salah satu ibadah yang agung, manfaatnya menyangkut orang lain. Bahkan dakwah menuju agama Allah merupakan perkataan yang paling baik. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru menuju Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. [Fushshilat:33]
Baca Selengkapnya
Dakwah mengajak kepada agama Allah merupakan tugas para nabi, maka cukuplah sebagai kemuliaan bahwa para da’i mengemban tugas para nabi. Allah Azza wa Jalla memerintahkan RasulNya untuk mengatakan, dakwah merupakan jalan Beliau, dengan firmanNya:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَ مَآ أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata (ilmu dan keyakinan). Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [Yusuf:108].
Karena dakwah merupakan ibadah, maka harus dilakukan dengan keikhlasan dan mengikuti Sunnah Nabi. Sebagaimana telah maklum, dua perkara ini merupakan syarat diterimanya ibadah.
IKHLAS DALAM DAKWAH
Seorang da’i harus memurnikan niatnya untuk mengajak kepada agama Allah, semata-mata mencari ridhaNya, bukan mengajak kepada dirinya sendiri, kelompoknya, atau pendapat dan fikirannya. Juga tidak dengan niat untuk mengumpulkan harta, meraih jabatan, mencari suara, atau tujuan dunia lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلَ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima dari semua jenis amalan kecuali yang murni (ikhlas) untukNya dan untuk mencari wajahNya. [HR Nasa-i, no. 3140. Lihat Silsilah Ash Shahihah, no. 52; Ahkamul Janaiz, hlm. 63].
Oleh karena itulah, Allah k memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan, bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meminta upah dalam menyampaikan Al Qur`an kepada mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُل لآ أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ
“Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al Qur`an)”. Al Qur`an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat.” [Al An’am : 90].
Karena, jika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta upah, maka hal itu akan menyebabkan umat menjadi keberatan dan menjauh. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di t berkata di dalam tafsirnya: “Yaitu: Aku tidak meminta pajak atau harta dari kamu sebagai upah tablighku dan dakwahku kepada kamu; karena itu akan menjadi sebab-sebab penolakan kamu. Tidaklah upahku, kecuali atas tanggungan Allah”. [Taisir Karimir Rahman, surat Al An’am : 90].
DAKWAH, TANGGUNG JAWAB SIAPA?
Setelah kita mengetahui keutamaan dakwah menuju agama Allah, kemudian apakah hukum dakwah ini dan siapakah yang bertanggung jawab terhadapnya?
Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa dakwah menuju agama Allah hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan perintah Allah untuk berdakwah sebagaimana terdapat di beberapa tempat di dalam Al Qur`an.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada dari kamu satu umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung”. [Ali Imran:104].
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”. [An Nahl:125].
وَلاَ يَصُدَّنَّكَ عَنْ ءَايَاتِ اللهِ بَعْدَ إِذْ أُنزِلَتْ إِلَيْكَ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka ke (jalan) Rabb-mu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb”. [Al Qashshash:87].
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. [Ali Imran:110].
Ayat-ayat di atas secara tegas memerintahkan berdakwah, oleh karenanya para ulama sepakat tentang kewajiban dakwah ini. Akan tetapi, kemudian mereka berselisih menjadi dua pendapat:
1). Hukum dakwah adalah fardhu kifayah.
2). Hukum dakwah adalah fardhu ‘ain, sesuai dengan kemampuan setiap orang.
Perbedaan pendapat ini, antara lain disebabkan oleh pemahaman terhadap firman Allah Azza wa Jalla surat Ali Imran ayat 104, artinya : Dan hendaklah ada dari kamu satu umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.
Ada dua pendapat ulama tentang tafsir ayat ini:
1). Bahwa
مِنْ di dalam firman Allah مِنْكُمْ (dari kamu) untuk menjelaskan jenis. Yaitu, “jadilah kamu semua demikian”, bukan satu orang tanpa yang lain. Dan yang sama semisal ayat ini ialah firman Allah Ta’ala:
وَإِن مِّنكُمْ إِلاَّ وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا
“Dan tidak ada seorangpun dari kamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabb-mu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan”. [Maryam:71].
Ayat di atas tidak membedakan antara manusia satu dengan lainnya, tetapi ditujukan kepada umat semuanya, masing-masing orang sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya.
2). Bahwa مِنْ di sini untuk menunjukkan sebagian. Maknanya ialah, bahwa orang-orang yang menyuruh (kepada yang ma’ruf) wajib menjadi ulama, dan tidak setiap orang itu ulama.[1]
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata: “Umat di sini (pada ayat 104 surat Ali Imran) adalah umat ulama, orang-orang yang Allah menjadikan baik kebanyakan umat dengan mereka (ulama itu)”.[2]
Di antara ulama yang berpendapat hukum berdakwah fardhu kifayah ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, beliau rahimahullah menyatakan: “Dan dengan ini telah menjadi jelas, dakwah menuju (agama) Allah wajib atas setiap muslim. Akan tetapi kewajiban itu adalah fardhu kifayah. Dan sesungguhnya, hal itu menjadi wajib ‘ain atas seseorang yang dia mampu, jika tidak ada orang lain yang melakukannya. Inilah urusan amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan), nahi mungkar (melarang kemungkaran), tabligh (menyampaikan) yang dibawa oleh Rasul, jihad fi sabililah, mengajarkan iman dan Al Qur`an”.[3]
Demikian juga Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, beliau rahimahullah berkata: “Para ulama telah menerangkan, bahwa dakwah menuju (agama) Allah Azza wa Jalla (hukumnya) fardhu kifayah berkaitan dengan daerah-daerah yang para da’i tinggal padanya. Karena sesungguhnya setiap daerah dan penjuru membutuhkan dakwah dan kegiatan padanya. Maka hukumnya adalah fardgu kifayah. Jika orang yang telah mencukupi telah melakukan dakwah, kewajiban itu gugur dari orang-orang yang lain. Dan jadilah hukum dakwah atas orang-orang yang lain itu menjadi sunnah muakaddah (sunnah yang ditekankan) dan sebuah amalan shalih yang agung”. [4]
Adapun di antara ulama yang berpendapat hukum dakwah fardhu ‘ain, sesuai dengan kemampuan setiap orang, yaitu Imam Ibnu Katsir. Dalam tafsirnya, beliau rahimahullah berkata: Allah Ta’ala berfirman, hendaklah ada dari kamu satu umat yang bangkit untuk melaksanakan perintah Allah di dalam dakwah (mengajak) menuju kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. Adh Dhahhak mengatakan, mereka adalah para sahabat Nabi yang khusus, dan para perawi (hadits) yang khusus, yakni para mujahidin dan ulama… Dan maksud dari ayat ini (ialah), hendaklah ada sekelompok dari umat ini yang mengurusi perkara ini, walaupun itu merupakan kewajiban atas setiap pribadi dari umat ini sesuai dengan (keadaan atau kemampuan) nya. Sebagaimana telah disebutkan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu [5], dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika dia tidak mampu, maka dengan lidahnya, jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman.
Dalam satu riwayat disebutkan :
وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
“Dan tidak ada di belakang itu keimanan seberat sebiji sawi”. [6]
Imam Ahmad meriwayatkan dari Hudzaifah bin Al Yaman, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْ عِنْدِهُ ثُمَّ لَتَدْعُنَّهُ فَلَا يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ
“Demi (Allah) Yang jiwaku di tanganNya, sungguh benar-benar kamu memerintahkan yang ma’ruf dan sungguh benar-benar kamu melarang yang mungkar, atau sungguh benar-benar Allah hampir akan mengirimkan siksaan kepada kamu dari sisiNya, kemudian kamu sungguh-sungguh akan berdoa kepadaNya, namun Dia tidak mengabulkan bagi kamu”.
Juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah dari hadits Amr bin Abi Amr dengan hadits ini. Tirmidzi mengatakan: “Hasan”.[7] Dan hadits-hadits dalam masalah ini banyak, serta ayat-ayat yang mulia sebagaimana akan datang tafsirnya pada tempat-tempatnya. Lihat Tafsir Al Qur’anil Azhim, surat Ali Imran ayat 104.
KAPAN DAKWAH MENJADI FARDHU ‘AIN?
Kemudian hukum dakwah yang asalnya fardhu kifayah, (atau fardhu ‘ain sesuai dengan kemampuan setiap orang, sebagaimana telah dijelaskan di atas) menjadi fardhu ‘ain dalam keadaan-keadaan tertentu.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata: “Dan terkadang kewajiban (dakwah) itu menjadi fardhu ‘ain, jika engkau berada di suatu tempat yang di sana tidak ada orang yang menunaikannya selainmu”.[9]
Beliau rahimahullah juga menjelaskan: “Di saat sedikitnya da’i, di saat banyaknya kemungkaran-kemungkaran, di saat dominannya kebodohan, seperti keadaan kita hari ini, dakwah menjadi fardhu ‘ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya”.
Jika keadaan kita pada zaman ini demikian, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Bin Baz rahimahullah, maka siapakah yang akan ikut berlomba di dalam kebaikan, berdakwah menuju agama Allah, dengan ilmu, ikhlas dan mengikuti Sunnah? Hanya Allah tempat mohon pertolongan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
sumber : www.almanhaj.or.id