Ayat-ayat dakwah
DAKWAH
Mengajak manusia menuju
agama Allah merupakan salah satu ibadah yang agung, manfaatnya
menyangkut orang lain. Bahkan dakwah menuju agama
Allah merupakan perkataan yang paling baik. Allah Azza wa Jalla
berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى
اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru menuju Allah, mengerjakan amal
yang shalih dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri”. [Fushshilat:33]
Baca Selengkapnya
Baca Selengkapnya
Dakwah mengajak kepada agama Allah merupakan tugas para nabi, maka
cukuplah sebagai kemuliaan bahwa para da’i mengemban tugas para nabi.
Allah Azza wa Jalla memerintahkan RasulNya untuk mengatakan, dakwah
merupakan jalan Beliau, dengan firmanNya:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُوا إِلَى اللهِ
عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَ مَآ أَنَا
مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah:
“Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata (ilmu dan
keyakinan). Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang
musyrik”. [Yusuf:108].
Karena
dakwah merupakan ibadah, maka harus dilakukan dengan keikhlasan dan
mengikuti Sunnah Nabi. Sebagaimana telah maklum, dua perkara ini
merupakan syarat diterimanya ibadah.
IKHLAS DALAM DAKWAH
Seorang
da’i harus memurnikan niatnya untuk mengajak kepada agama Allah,
semata-mata mencari ridhaNya, bukan mengajak kepada dirinya sendiri,
kelompoknya, atau pendapat dan fikirannya. Juga tidak dengan niat untuk
mengumpulkan harta, meraih jabatan, mencari suara, atau tujuan dunia
lainnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلَ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا
وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
“Sesungguhnya
Allah tidak akan menerima dari semua jenis amalan kecuali yang murni
(ikhlas) untukNya dan untuk mencari wajahNya. [HR Nasa-i, no. 3140.
Lihat Silsilah Ash Shahihah, no. 52; Ahkamul Janaiz, hlm. 63].
Oleh karena itulah, Allah k memerintahkan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan, bahwa Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak meminta upah dalam menyampaikan Al Qur`an
kepada mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُل
لآ أَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ
“Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam
menyampaikan (Al Qur`an)”. Al Qur`an itu tidak lain hanyalah peringatan
untuk segala umat.” [Al An’am : 90].
Karena, jika
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta upah, maka hal itu akan
menyebabkan umat menjadi keberatan dan menjauh. Syaikh Abdurrahman bin
Nashir As Sa’di t berkata di dalam tafsirnya: “Yaitu: Aku tidak meminta
pajak atau harta dari kamu sebagai upah tablighku dan dakwahku kepada
kamu; karena itu akan menjadi sebab-sebab penolakan kamu. Tidaklah
upahku, kecuali atas tanggungan Allah”. [Taisir Karimir Rahman, surat Al
An’am : 90].
DAKWAH, TANGGUNG JAWAB SIAPA?
Setelah kita mengetahui keutamaan dakwah menuju agama Allah, kemudian apakah hukum dakwah ini dan siapakah yang bertanggung jawab terhadapnya?
Setelah kita mengetahui keutamaan dakwah menuju agama Allah, kemudian apakah hukum dakwah ini dan siapakah yang bertanggung jawab terhadapnya?
Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa dakwah menuju agama
Allah hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan perintah Allah untuk
berdakwah sebagaimana terdapat di beberapa tempat di dalam Al Qur`an.
وَلْتَكُن
مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada dari kamu satu
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung”.
[Ali Imran:104].
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”.
[An Nahl:125].
وَلاَ يَصُدَّنَّكَ عَنْ ءَايَاتِ اللهِ بَعْدَ
إِذْ أُنزِلَتْ إِلَيْكَ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ
“Dan janganlah sekali-kali mereka
dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah
ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka ke (jalan)
Rabb-mu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Rabb”. [Al Qashshash:87].
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ
أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
“Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. [Ali
Imran:110].
Ayat-ayat di atas secara tegas
memerintahkan berdakwah, oleh karenanya para ulama sepakat tentang
kewajiban dakwah ini. Akan tetapi, kemudian mereka berselisih menjadi
dua pendapat:
1). Hukum dakwah adalah fardhu kifayah.
2). Hukum dakwah adalah fardhu ‘ain, sesuai dengan kemampuan setiap orang.
1). Hukum dakwah adalah fardhu kifayah.
2). Hukum dakwah adalah fardhu ‘ain, sesuai dengan kemampuan setiap orang.
Perbedaan pendapat ini, antara lain
disebabkan oleh pemahaman terhadap firman Allah Azza wa Jalla surat Ali
Imran ayat 104, artinya : Dan hendaklah ada dari kamu satu umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.
Ada dua pendapat ulama
tentang tafsir ayat ini:
1). Bahwa مِنْ di dalam firman Allah مِنْكُمْ (dari kamu) untuk menjelaskan jenis. Yaitu, “jadilah kamu semua demikian”, bukan satu orang tanpa yang lain. Dan yang sama semisal ayat ini ialah firman Allah Ta’ala:
1). Bahwa مِنْ di dalam firman Allah مِنْكُمْ (dari kamu) untuk menjelaskan jenis. Yaitu, “jadilah kamu semua demikian”, bukan satu orang tanpa yang lain. Dan yang sama semisal ayat ini ialah firman Allah Ta’ala:
وَإِن مِّنكُمْ إِلاَّ وَارِدُهَا كَانَ عَلَى
رَبِّكَ حَتْمًا مَّقْضِيًّا
“Dan tidak ada
seorangpun dari kamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi
Rabb-mu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan”. [Maryam:71].
Ayat di atas tidak membedakan antara manusia satu dengan
lainnya, tetapi ditujukan kepada umat semuanya, masing-masing orang
sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya.
2). Bahwa مِنْ di sini untuk
menunjukkan sebagian. Maknanya ialah, bahwa orang-orang yang menyuruh
(kepada yang ma’ruf) wajib menjadi ulama, dan tidak setiap orang itu
ulama.[1]
Syaikh Bakr Abu Zaid berkata:
“Umat di sini (pada ayat 104 surat Ali Imran) adalah umat ulama,
orang-orang yang Allah menjadikan baik kebanyakan umat dengan mereka
(ulama itu)”.[2]
Di antara ulama yang berpendapat
hukum berdakwah fardhu kifayah ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
beliau rahimahullah menyatakan: “Dan dengan ini telah menjadi jelas,
dakwah menuju (agama) Allah wajib atas setiap muslim. Akan tetapi
kewajiban itu adalah fardhu kifayah. Dan sesungguhnya, hal itu menjadi
wajib ‘ain atas seseorang yang dia mampu, jika tidak ada orang lain yang
melakukannya. Inilah urusan amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan), nahi
mungkar (melarang kemungkaran), tabligh (menyampaikan) yang dibawa oleh
Rasul, jihad fi sabililah, mengajarkan iman dan Al Qur`an”.[3]
Demikian juga Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz,
beliau rahimahullah berkata: “Para ulama telah menerangkan, bahwa dakwah
menuju (agama) Allah Azza wa Jalla (hukumnya) fardhu kifayah berkaitan
dengan daerah-daerah yang para da’i tinggal padanya. Karena sesungguhnya
setiap daerah dan penjuru membutuhkan dakwah dan kegiatan padanya. Maka
hukumnya adalah fardgu kifayah. Jika orang yang telah mencukupi telah
melakukan dakwah, kewajiban itu gugur dari orang-orang yang lain. Dan
jadilah hukum dakwah atas orang-orang yang lain itu menjadi sunnah
muakaddah (sunnah yang ditekankan) dan sebuah amalan shalih yang agung”.
[4]
Adapun di antara ulama yang berpendapat hukum
dakwah fardhu ‘ain, sesuai dengan kemampuan setiap orang, yaitu Imam
Ibnu Katsir. Dalam tafsirnya, beliau rahimahullah berkata: Allah Ta’ala
berfirman, hendaklah ada dari kamu satu umat yang bangkit untuk
melaksanakan perintah Allah di dalam dakwah (mengajak) menuju kebaikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah
orang-orang yang beruntung. Adh Dhahhak mengatakan, mereka adalah para
sahabat Nabi yang khusus, dan para perawi (hadits) yang khusus, yakni
para mujahidin dan ulama… Dan maksud dari ayat ini (ialah), hendaklah
ada sekelompok dari umat ini yang mengurusi perkara ini, walaupun itu
merupakan kewajiban atas setiap pribadi dari umat ini sesuai dengan
(keadaan atau kemampuan) nya. Sebagaimana telah disebutkan dalam Shahih
Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu [5], dia berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ
مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka
rubahlah dengan tangannya, jika dia tidak mampu, maka dengan lidahnya,
jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemah iman.
Dalam satu riwayat disebutkan :
وَلَيْسَ
وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
“Dan tidak ada di belakang itu keimanan seberat sebiji
sawi”. [6]
Imam Ahmad meriwayatkan dari Hudzaifah
bin Al Yaman, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ
الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا
مِنْ عِنْدِهُ ثُمَّ لَتَدْعُنَّهُ فَلَا يَسْتَجِيْبُ لَكُمْ
“Demi (Allah) Yang jiwaku di tanganNya, sungguh
benar-benar kamu memerintahkan yang ma’ruf dan sungguh benar-benar kamu
melarang yang mungkar, atau sungguh benar-benar Allah hampir akan
mengirimkan siksaan kepada kamu dari sisiNya, kemudian kamu
sungguh-sungguh akan berdoa kepadaNya, namun Dia tidak mengabulkan bagi
kamu”.
Juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu
Majah dari hadits Amr bin Abi Amr dengan hadits ini. Tirmidzi
mengatakan: “Hasan”.[7] Dan hadits-hadits dalam masalah ini banyak,
serta ayat-ayat yang mulia sebagaimana akan datang tafsirnya pada
tempat-tempatnya. Lihat Tafsir Al Qur’anil Azhim, surat Ali Imran ayat
104.
KAPAN DAKWAH MENJADI FARDHU ‘AIN?
Kemudian hukum dakwah yang asalnya fardhu kifayah, (atau fardhu ‘ain sesuai dengan kemampuan setiap orang, sebagaimana telah dijelaskan di atas) menjadi fardhu ‘ain dalam keadaan-keadaan tertentu.
Kemudian hukum dakwah yang asalnya fardhu kifayah, (atau fardhu ‘ain sesuai dengan kemampuan setiap orang, sebagaimana telah dijelaskan di atas) menjadi fardhu ‘ain dalam keadaan-keadaan tertentu.
Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata: “Dan terkadang
kewajiban (dakwah) itu menjadi fardhu ‘ain, jika engkau berada di suatu
tempat yang di sana tidak ada orang yang menunaikannya selainmu”.[9]
Beliau
rahimahullah juga menjelaskan: “Di saat sedikitnya da’i, di saat
banyaknya kemungkaran-kemungkaran, di saat dominannya kebodohan, seperti
keadaan kita hari ini, dakwah menjadi fardhu ‘ain atas setiap orang
sesuai dengan kemampuannya”.
Jika keadaan kita pada zaman ini
demikian, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Bin Baz rahimahullah, maka
siapakah yang akan ikut berlomba di dalam kebaikan, berdakwah menuju
agama Allah, dengan ilmu, ikhlas dan mengikuti Sunnah? Hanya Allah
tempat mohon pertolongan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
04/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
sumber : www.almanhaj.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar